Total Tayangan Halaman

All About blogger

Tukar link disini

christian tatelu
Diberdayakan oleh Blogger.
.

Pengikut

Cari Blog Ini

Senin, 07 Mei 2012



A. Pengertian Populasi
Menurut Suharsimi Arikunto (1998; 115) populasi adalah keseluruhan obyek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi atau biasa disebut juga penelitian sensus. Sedangkan menurut Sugiono (1994; 57) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas; obyek/ subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam pandanganya bukan saja merupakan jumlah orang tetapi juga merupakan karakter atau sifat yang dimiliki oleh obyek yang diteliti.
Misalnya akan melakukan penelitian di lembaga X, maka lembaga X merupakan populasi. Lembaga X yang didalamnya terdiri dari sejumlah orang, maka populasi dalam pengertian ini adalah jumlah. Sedangkan berbagai karakter yang dimiliki oleh sejumlah orang dalam lembaga X yang mungkin sangat bervariasi, misalnya kedisiplinan, kepemimpinan, motivasi kerja, maka dalam hal ini populasi berarti karakter yang menempel dalam obyek penelitian.
Menurut Sugiono (1994) satu orangpun dapat digunakan populasi, karena satu orang dapat mempunyai beberapa karakteristik, misalnya gaya bicaranya, disiplin kerjanya, cara bergaulnya dan lain sebagainya. Misalnya akan melakukan penelitian terhadap kepala sekolah S maka kepemimpinan merupakan sample dari semua karakteristik yang dimiliki oleh kepala sekolah S.This file created by: 
Name: Yth. Bpk Miftahul Choiri

Melihat jumlahnya populasi tidak terbatas, oleh karena itu dalam penelitian yang dibatasi oleh berbagai keterbatasan (keterbatasan waktu, dana dan tempat) maka agar  hasil penelitian benar-benar menggambarkan keadaan populasi maka diperlukan adanya sample yang representatif sebagai wakil dari populasi yang jumlahnya tidak terbatas. Hal ini dimaksudkan agar dalam proses pengambilan generalisasi sedapat mungkin terhindar dari berbagai kesalahan, terutama kesalahan dari ketidakvalidan data yang diperoleh dari populasi itu sendiri.

B. Pengertian Sampel
Sugiyono (1996) berpendapat bahwa sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Bila populasi terlalu besar maka untuk memudahkan penelitian maka perlu dilakukan pengambilan sampel (sampling). Sedapat mungkin dalam pengambilan sampel harus benar-benar menggambarkan keadaan populasi.
Pengambilan sampel yang tidak reprensentatif (tidak mewakili), ibarat orang buta menggambarkan keadaan gajah. Satu orang buta memegang telinga gajah, maka ia bilang bahwa gajah itu seperti kipas. Orang kedua memegang kaki gajah, maka ia bilang bahwa gajah itu seperti bambu yang besar. Orang ketiga memegang badan gajah yang besar, kemudian ia bilang bahwa gajah itu seperti tembok. Begitulah pengambilan sampel yang tidak representatif akan menggambarkan sesuatu  itu salah, karena kesimpulannya terputus-putus, tidak utuh.

C. Teknik Pengambilan Sampel
Untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian terdapat teknik sampling yang dapat digunakan. Secara umum teknik pengambilan sampel dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yakni; probability sampling dan non probability sampling.
Probability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama terhadap semua anggota populasi untuk dijadikan sampel. Teknik ini meliputi;
1. Simple Ramdom Sampling, dikatakan simpel (sederhana) karena pengambilan sampel dari semua anggota populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam anggota populasi itu. Cara ini dilakukan apabila anggota populasi dianggap homogen.
2.  Proportionate Stratified Random Sampling, teknik ini digunakan bila populasi mempunyai anggota/ unsur yang tidak homogen dan berstrata secara proporsional. Suatu perguruan tinggi Islam mempunyai mahasiswa dari berbagai latar belakang yang berbeda, maka populasi mahasiswa tersebut berstrata. Misalnya jumlah mahasiswa yang lulusan, STM = 50, SMEA, 75, SMU = 150 dan MA = 750. Jumlah mahasiswa yang dijadikan sampel dalam penelitian ini harus meliputi jenis pendidikan yang tertera yang diambil secara proporsional.
3.  Disproportionate Stratified Random Sampling, teknik ini digunakan untuk menentukan jumlah sampel apabila populasi berstrata tetapi kurang proporsional. Misalnya sebuah peguruan tinggi mempunyai dosen; 5 orang lulusan S3, 17 orang lulusan S2 dan 105 lulusan S1, maka 5 orang lulusan S3 dan 17 orang lulusan S2 diambil sebagai sampel. Karena dua kelompok ini terlalu kecil apabila dibandingkan dengan kelompok S1.
4.  Cluster Sampling, teknik sampling daerah digunakan untuk menentukan sampel apabila obyek penelitian yang akan diteliti atau sumber data sangat luas, misalnya pelajar dari suatu propinsi, kabupaten atau karisidenan. Teknik sampling ini sering dilakukan melalui dua tahap, pertama menentukan sampel daerah, dan tahap berikutnya menentukan orang-orang yang ada pada daerah itu juga secara sampling.
Nonprobability sampling adalah teknik yang tidak memberi peluang yang sama kepada setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Teknik ini meliputi:
1.  Sampling Sistematis, adalah teknik penentuan sampel berdasarkan urutan dari anggota populasi yang telah diberi nomor urut. Misalnya anggota populasi terdiri dari 1000 orang. Semua anggota diberi nomor mulai nomor 1 sampai 1000. Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan nomor ganjil saja, genap saja atau kelipatan dari bilangan tertentu, misalnya kelipatan lima dan seterusnya.
2.  Sampel Kuota, adalah teknik untuk menentukan sampel dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai  jumlah (kuota) yang diinginkan. Sebagai contoh, akan melakukan penelitian terhadap calon jemaah haji tentang alasan apa yang melatar belakangi mereka menunaikan ibadah haji, kemudian ditentukan jumlah kuota  calon jemaah yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini.
3.  Sampel  Aksidental, adalah teknik penentuan sampel, berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data. Sebagai contoh, penelitian tentang ketaatan  para pemakai jalan terhadap peraturan berlalu lintas, kemudian seorang peneliti tidak menentukan siapa yang akan dijadikan sampel, namun mencatat jumlah orang yang melakukan pelanggaran terhadap rambu-rambu berlalu lintas, terutama pelanggaran  yang terjadi di tempa yang ada lampu rambu-rambu lalu lintas. Berapa jumlah pemakai jalan yang melanggar rambu-rambu lalu lintas dalam setiap jamnya. Dari jumlah pelanggar ini, kemudian ditentukan jumlah sampelnya.
4.  Sampel Purposive,  adalah teknik penentuan sampel untuk tujuan tertentu saja. Misalnya akan melakukan penelitian tentang disiplin guru dalam mengajar di kabupaten X, maka  sampel yang dipilih adalah seluruh guru yang mengajar di sekolah yang dikehendaki oleh peneliti sebagai  obyek penelitian.
5.    Sampel Jenuh, adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini sering dilakukan bila jumlah populasi relatif kecil, kurang dari 30 orang. Istilah lain dari sampel jenuh adalah sensus, dimana semua anggota populasi dijadikan sebagai sampel.
6.  Sampel Snowball, adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian sampel ini disuruh memilih teman-temannya untuk dijadikan sampel. Begitu seterusnya, sehingga jumlah sampel semakin banyak. Ibarat bola salju yang bila menggelinding , makin lama makin besar.

D. Menentukan Jumlah Sampel
Jumlah sampel sering dinyatakan dengan ukuran sampel. Jumlah sampel yang 100% mewakili populasi adalah sama dengan jumlah populasi.  Jadi jumlah populasi 10000 dan hasil penelitian itu akan diberlakukan untuk 1000 orang tersebut tanpa ada kesalahan, maka jumlah sampel yang diambil sama dengan jumlah populasi tersebut. Makin besar jumlah sampel mendekati populasi, maka peluang kesalahan generalisasi semakin kecil, dan sebaliknya makin kecil jumlah sampel menjauhi populasi, maka semakin besar kesalahan generalisasi (Sugiono, 1994; 63)
Terdapat beberapa rumus yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya sampel yang diperlukan dalam penelitian. Tetapi dalam buku ini disajikan cara menentukan ukuran sampel yang praktis, yaitu dengan tabel. Tabel yang digunakan adalah tabel Krejcie.
Krejcie dalam melakukan perhitungan ukuran sampel didasarkan atas kesalahan 5%. Jadi sampel yang diperoleh itu itu mempunyai tingkat kepercayaan 95% terhadap populasi. Tabel Krejcie ditunjukkan pada tabel   5.1. Dari tabel ini terlihat bila jumlah populasi 100 maka jumlah sampelnya 80, bila populasi 1000 maka sampelnya 278, bila jumlah populasi 100.000 maka jumlah sampelnya 384. Dengan demikian makin besar populasi semakin kecil persentasi sampel. Oleh karena itu tepat bila ukuran populasinya berbeda persentase sampelnya, misalnya 10%.
Berikut contoh menentukan ukuran sampel. Penelitian dilakukan terhadap persepsi mahasiswa terhadap gaya mengajar dosen suatu perguruan tinggi. Sumber data yang digunakan adalah para mahasiswa dari suatu perguruan tinggi yang terdiri dari 3 (tiga) jurusan yang berbeda. Jumlah mahasiswanya 700 (populasi), terdiri dari mahasiswa jurusan Tarbiyah 350 orang, mahasiswa jurusan Syariah 250 orang dan mahasiswa jurusan Dakwah 200 orang (populasi berstrata).
            
TABEL 5.1
TABLE FOR DETERMINING NEEDED SIZE S OF A RAMDOMLY CHOSEN SAMPLE FROM A GIVEN FINITE POPULATION OF N CASES SUCH THAT THE SAMPLE PROPORTION r WILL BE WITHIN + .05 OF THE POPULATION PROPORTION r WITH  A 95 PERCENT
 LEVEL OF CONFIDENCE

N
S
N
S
N
S
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95
100
110
120
130
140
150
160
170
180
190
200
210
10
14
19
24
28
32
36
40
44
48
52
56
59
63
66
70
73
76
80
86
92
97
103
108
113
118
123
127
132
136
220
230
240
250
260
270
280
290
300
320
340
360
380
400
420
440
460
480
500
550
600
650
700
750
800
850
900
950
1000
1.100
140
144
148
152
155
159
162
165
169
175
181
186
191
196
201
205
210
214
217
226
234
242
248
254
260
265
269
274
278
285
1.200
1.300
1.400
1.500
1.600
1.700
1.800
1.900
2.000
2.200
2.400
2.600
2.800
3.000
3.500
4.000
4.500
5.000
6.000
7.000
8.000
9.000
10.000
15.000
20.000
30.000
40.000
50.000
75.000
100.000

291
297
302
306
310
313
317
320
322
327
331
335
338
341
346
351
354
357
361
364
367
368
370
375
377
379
380
381
382
384

Catatan              :    N           =     populasi
                               S            =     sampel

Contoh               :    populasi 200 sampelnya 132. Tabel ini khusus untuk tingkat kesalahan 5 % 

Jumlah populasi = 700. Bila kesalahan 5%, maka jumlah  sampelnya = 248. Karena populasi berstrata, maka sampelnya juga berstrata. Strata menurut jumlah mahasiswa masing-masing jurusan. Dengan demikian masing-masing sampel untuk  masing-masing jurusan harus proporsional sesuai dengan populasinya.
Jadi jumlah sampel untuk:

Tarbiyah                         =  270         x       248   =
                                          700

Syariah                           =  230         x      248    =
                                          700
Dakwah                         = 200          x      248    =

                                          700
                                      Jumlah sampel    =  248         
                                     
Angka yang terdapat koma dibulatkan ke atas sehingga jumlah sampelnya lebih akurat mendekati angka 248 secara keseluruhan.
 
E. Menentukan Anggota Sampel
Pada bagian awal bab ini telah dikemukakan terdapat dua teknik pengambilan sampel yaitu probability sampling dan non probability sampling. Probability sampling adalah teknik sampling yang memberi peluang yang sama kepada anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Cara demikian sering disebut dengan random sampling atau cara pengambilan sampel secara acak.
Pengambilan sampel secara random  atau acak dapat dilakukan dengan bilangan random, komputer maupun dengan undian. Bila pengambilan dilakukan dengan undian, maka setiap anggota populasi diberi nomor terlebih dahulu, sesuai dengan humlah anggota populasi. Misalnya jumlah populasi = 100, maka setiap anggota diberi nomor mulai dari nomor 1 sampai nomor 100. Selanjutnya bila kesalahan 5% maka jumlah sampelnya = 80.
Karena teknik pengambilan sampel adalah random, maka setiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih menjadi anggota populasi. Untuk contoh di atas peluang setiap anggota populasi = 1/100. Dengan demikian cara pengambilannya bila satu nomor telah diambil maka perlu dikembalikan lagi.

 



BAB VI
SKALA PENGUKURAN DAN INSTRUMEN PENELITIAN

Penelitian adalah upaya sistematis untuk menenmukan jawaban dari suatu permasalahan. Oleh karena itu setiap langkah yang dilakukan juga harus sistematik, terencana, serta mengikuti aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan tertentu. Aturan-aturan ini  mencakup keseluruhan aspek penelitian sejak dari identifikasi masalah dan penjabaran variabel, penyusunan desain penelitian, sampai penarikan kesimpulan dan pengkaitan hasil analisis data dengan hipotesis dan pokok permasalahan dasarnya (Tuckman, 1978:11).
Selain sistematik penelitian juga bersifat logis, empiris, rediktif dan dapat diulang dengan harapan akan hasil yang (seharusnya) tidak terlalu berbeda, selama tidak terjadi perubahan yang mendasar dalam diri subyek penelitiannya. Ciri-ciri ini harus diusahakan untuk selalu dapat terwujud dalam setiap penelitian karena hal ini akan sangat mempengaruhi validitas dan reabilitas penelitian itu sendiri.(Suhadi Ibnu, 1994; 1).
Permasalahan validitas dan reabilitas penelitian berpusat pada mutu data yang ada dan bagaimana data  tersebut diolah. Sedangkan mutu data itu sendiri sangat ditentukan oleh langkah-langkah penelitian yang dilakukan sebelumnya seperti identifikasi permasalahan dan penjabarannya ke dalam variabel-variabel penelitian, penyusunan desain penelitian dan bagaimana piranti atau instrumen pengumpul data tersebut dikembangkan.
Dalam  penelitian kuantitatif, peneliti menggunakan instrumen penelitian sebagai alat untuk mendapatkan data yang akurat, sedangkan dalam penelitian kualitatif peneliti akan lebih banyak menjadi instrumen untuk mendapatkan data yang lebih lengkap, mendalam dan data-data yang tidak dapat diukur dengan kunatifikasi (angka-angka). Dengan demikian data yang dijaring dengan instrumen penelitian akan lebih bersifat obyektif, karena lebih empiris.
Instrumen penelitian digunakan untuk mengukur variabel yang diteliti. Dengan demikian jumlah instrumen tergantung pada jumlah variabel yang diteliti. Bila variabel penelitiannya tiga, maka jumlah instrumen yang akan digunakan tiga juga. Instrumen sudah ada dan dibakukan  dan ada juga yang harus dibuat oleh peneliti sendiri. Setiap instrumen akan mempunyai skala dan bermacam-macam skala pengukuran.  

A.     Jenis Skala Pengukuran
Skala pengukuran merupakan seperangkat aturan yang diperlukan untuk menguantifikasikan data dari pengukuran suatu variabel. Dengan pengukuran ini maka variabel yang diukur akan termasuk gradasi 37 derajat celcius. Sikap sekelompok orang akan termasuk gradasi dari suatu skala sikap. Macam-macam skala pengukuran dapat berupa skala nominal, ordinal, interval dan ratio.  

1.      Data Nominal
Penelitian dengan menggunakan skala nominal sebenarnya tidak melakukan pengukuran tetapi lebih pada mengkategorikan atau mengklasifikasikan, memberi nama dan menghitung fakta-fakta dari obyek yang diteliti. Contoh, peneliti mengkategorikan bahasa; bahasa Jawa, Sunda, Padang, Madura dan lain sebagainya. Memberi nama; kepala desa, sekretaris desa, pamong dan lain sebagainya. Menghitung fakta-fakta; jumlah pegawai, jumlah sarana dan lain sebagainya.
Skala nominal akan menghasilkan data yangdisebut data nominal atau data diskrit, yaitu data yang diperoleh dari mengkategorikan, memberi nama dan menghitung fakta-fakta dari obyek yang diobservasi.

2.      Data Ordinal
Penelitian dengan menggunakan skala ordinal berarti  peneliti akan melakukan pengukuran terhadap variabel yang diteliti. Skala ordinal adalah skala yang berjenjang dimana sesuatu mempunyai nilai lebih atau nilai kurang dibandingkan dengan yang lain.
Contoh Juara I mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan Juara II. Juara II mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan Juara III atau dengan kata lain Juara III nilainya lebih sedikit dibanding dengan Juara I dan Juara II. Jarak antara satu jenjang dengan jenjang yang lain tidak harus mempunyai nilai yang sama, tetapi dilihat karena adanya selisih perbedaan walaupun perbedaan tersebut sedikit jumlahnya.
Juara I                     : nilai rata-rata 8, 5
Juara II                   : nilai rata-rata 8, 3
Juara III                  : nilai rata-rata 7,9

3.      Data Interval
Skala interval adalah skala yang jarak antara satu data dengan data yang lain sama tetapi tidak mempunyai nilai nol  absolut (nol yang tidak  ada nilainya). Sebagai contoh; ada tiga tingkatan penilaian;
Kurang                    :  1  -  33
Sedang                    : 34  - 66
Baik                        : 67 -  99
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa masing-masing tingkatan mempunyai jarak atau interval 32. Teknik pembuatan interval yang lazim digunakan adalah membagi jumlah tingkatan dengan angka 100 %.

4.      Data Ratio
Skala ratio digunakan untuk mengukur variabel yang mempunyai data yang antara interval satu dengan interval lainnya mempunyai nilai nol absolut. Contoh berat 0 kg berarti memang tidak ada berat, panjang 0 cm berarti memang tiada ada panjang.

B.     Beberapa Tipe Skala Pengukuran
Dari empat macam skala pengukuran seperti yang telah dibicarakan di atas, skala intervallah yang lebih banyak digunakan untuk mengukur fenomena atau gejala sosial. Para ahli sosiologi membedakan dua tipe skala menurut fenomena sosial yang diukur yaitu;
1.        Skala pengukuran untuk mengukur perilaku susila dan kepribadian.
2.        Skala pengukuran untuk mengukur berbagai aspek budaya lain dan lingkungan sosial.
Yang termasuk tipe yang pertama adalah; skala sikap, skala moral test karakter, skala partisipasi sosial. Yang termasuk tipe kedua adalah skala untuk mengukur status sosial ekonomi, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan dan kondisi kerumahtanggaan.
Berbagai jenis skala yang dapat digunakan untuk mengukur fenomena sosial dan dapat dianalisis dengan metode statistik yaitu; skala untuk mengukur intelegensi, kepribadian, sikap, status sosial dan lain sebagainya. Pada pembahasan bab ini akan dijelaskan tipe skala untuk mengukur fenomena sosial yang dibatasi pada pengukuran sikap. Beberapa skala sikap yang sering digunakan dapat dijelaskan sebagai berikut;
1.      Skala Likert
2.      Skala Guttman
3.      Rating Scale
4.      Sematict Defferensial
5.      Skala Thurstone
Kelima jenis skala tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan mendapatkan data interval atau ratio. Hal ini akan tergantung pada bidang yang akan diukur. Pada penjelasan ini skala Thurstone tidak akan dibahas.

1.      Skala Likert
Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dalam penelitian fenomena sosial ini telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti yang selanjutnya disebut dengan variabel penelitian.
Dengan skala Likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi sub variabel. Kemudian sub variabel dijabarkan menjadi komponen-komponen yang dapat terukur. Komponen-komponen yang terukur ini kemudian dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan yang kemudian dijawab oleh responden.
Jawaban setiap item instrumen yang  menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif, yang dapat berupa kata-kata antara lain;

1.      Sangat setuju
2.      Setuju
3.      Ragu-ragu
4.      Tidak setuju
5.      Sangat tidak setuju
1.      Sering
2.      Kadang-kadang
3.      Hampir tidak pernah
4.      Tidak pernah
  

Untuk keperluan analisis secara kuantitatif, maka jawaban itu dapat diberi skor, misalnya;

1.      Sangat setuju/ selalu/ sangat positif diberi skor
2.      Setuju/ sering/ positif diberi skor
3.      Ragu-ragu/ kadang-kadang/ netral diberi skor
4.      Tidak setuju/ hampir tidak pernah/ negatif diberi skor
5.      Sangat tidak setuju/ tidak pernah/ sangat positif diberi skor
5
4
3
2
1

Instrumen penelitian yang menggunakan skala Likert dapat dibuat dalam bentuk cheklist ataupun pilihan ganda.
a.       Contoh bentuk cheklist
No.
Pernyataan
Jawaban


SS
ST
RG
TS
STS
1.



2.
Bagi setiap guru yang  mampu meningkatkan kualitas proses pembelajaran akan diberi insentif tambahan.
……………………..
X





Keterangan:
SS       = sangat setuju
ST       = setuju
RG       = ragu-ragu
TS       = tidak  setuju
STS     = sangat tidak setuju

b.      Contoh bentuk pilihan ganda
1.        Bagi setiap guru yang  mampu meningkatkan kualitas proses pembelajaran akan diberi insentif tambahan.
a.       Sangat tidak setuju      c. Ragu-ragu           e. Sangat setuju
b.      Tidak setuju                d. Setuju


2.        Skala  Guttman
Skala pengukuran Guttman mempunyai ciri jawaban yang tegas, antara jawaban positif dan negatif, ya atau tidak, benar atau salah, pernah atau tidak pernah. Data yang diperoleh dapat berbentuk interval atau ratio dikotomi (dua alternatif). Kalau skala Likert terdapat  1,2,3,4,5  interval dari sangat setuju sampai sangat tidak setuju, maka skala Guttman hanya dua interval yaitu setuju atau tidak setuju.  Contoh;
1.        Bagaimana pendapat anda, bila seorang guru mendapat kemudahan untuk melanjutkan studi kembali?
a.       Setuju
b.      Tidak setuju
2.        Pernahkah pimpinan anda memberikan pembinaan secara terjadwal di kantor anda?
a.       Tidak pernah
b.      Pernah

3.        Semantic Defferensial
Skala pengukuran ini dikembangkan oleh Osgood. Skala ini juga digunakan untuk mengukur sikap, hanya bentuknya tidak pilihan ganda ataupun cheklist, tetapi tersusun dalam garis kontinum yang jawaban sangat positifnya terletak bagian kanan garis dan jawaban yang sangat negatif terletak di bagian kiri baris atau sebaliknya. Data yang diperoleh adalah data interval dan biasanya skala digunakan untuk mengukur sikap atau karakter tertentu yang dimiliki seseorang.
Dalam pengukuran ini, responden dapat memberi jawaban, pada rentang jawaban yang positif sampai dengan negatif. Hal ini tergantung pada persepsi responden kepada yang dinilai. Responden yang memberikan penilaian dengan angka 5 berarti persepsinya sangat positif, sedangkan bila memberi penilain dengan angka 3 berarti netral dan jika memberikan penilaian dengan angka 1 berarti responnya sangat negatif. Sebagai contoh model pengukuran ini adalah sebagai berikut;
Beri nilai gaya kepemimpinan
Kepala Bagian  anda

1.
Bersahabat
5
4
3
2
1
Tidak bersahabat
2.
Tepat janji
5
4
3
2
1
Lupa janji
3.
Bersahabat
5
4
3
2
1
Memusuhi
4.
Ramah
5
4
3
2
1
Suka marah
5.
Suka mendelegasikan
5
4
3
2
1
Mendominasi

4.        Rating Scale
Tiga model pengukuran sebelumnya mempunyai ciri data dari kualifikasi baru ke kuantifikasi, rating scale data mentahnya berbentuk angka kemudian baru ditafsirkan dalam pengertian kualitatif. Sebagai penjelas, ketika responden menjawab senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju, pernah atau tidak pernah, maka data ini berbentuk kualitatif. Dalam model pengukuran rating scale responden tidak akan menjawab salah satu dari jawaban kualitatif yang tersedia, melainkan menjawab salah satu jawaban kuantitatif yang tersedia. Sebagai contoh;
Seberapa baik tata ruangan yang ada di Lembaga X
Berikan jawaban angka;
4 bila tata ruang sangat baik
3 bila tata ruang cukup baik
2 bila tata ruang kurang baik
1 bila tata ruang sangat tidak baik


Jawaban dengan melingkari nomor jawaban

No.
Pernyataan tentang tata ruang kelas
Interval Jawaban
1.
2.
3.
4.
5.
Penataan meja dan kursi belajar
Pencahayaan ruangan
Sirkulasi udara
Warna dinding ruangan
     4     3     2     1
     4     3     2     1
     4     3     2     1
     4     3     2     1
     4     3     2     1

C. Instrumen Penelitian
Pada prinsipnya meneliti adalah melakukan pengukuran terhadap fenomena sosial maupun alam. Karena pada prinsipnya melakukan pengukuran, maka penelitian harus mempunyai alat ukur yang baik. Alat ukur dalam penelitian biasa dinamakan instrumen penelitian. Jadi instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena sosial maupun alam yang diamati. Secara spesifik semua fenomena ini disebut variabel penelitian.
Ditinjau dari strategi pengumpulan data yang digunakan, penelitian dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar; survai dan eksperimental (Suhadi Ibnu, 1994; 2). Dalam penelitian survai dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Penelitian survai biasa digunakan untuk  mengkaji masalah-masalah sosial,  yang instrumen penelitiannya meliputi;  field research, observasi terstruktur, dan kuesioner.

1. Field Research
Untuk memahami secara mendalam adat istiadat atau tradisi suatu kelompok etnis, field research merupakan pilihan yang paling prospektif. Model penelitian ini menuntut kehadiran langsung peneliti di lokasi penelitian. Oleh karena itu untuk menghindarkan berkembangnya situasi artifisial selama keberadaannya di lingkungan masyarakat tersebut, maka sedapat mungkin peneliti dapat menhindarkan diri untuk tidak membawa alat-alat yang dapat menimbulkan kecurigaan masyarakat, seperti; kamera, alat perekam, alat-alat pencatat dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini biasanya peneliti menggunakan cacatan kancah (filed notes) yang kadang-kadang dibedakan menjadi beberapa suku catatan seperti cacatan observasional, cacatan anekdotal, cacatan metodologis dan cacatan analitik.
Secara umum cacatan kancah digunakan untuk menuturkan pengamatan dan persepsi peneliti akan kejadian, proses dan fenomena-fenomena kehidupan yang disaksikan dan dialaminya selama berparsitipasi dalam kehidupan masyarakat sasaran penelitian. Untuk memudahkan pengolahan data beberapa ahli seperti; Erickson, Mc. Call, Simmon, dan Strauss, menyarankan agar cacatan kancah dijabarkan menjadi beberapa suku cacatan sesusi dengan jenis informasi yang dicatat.
Catatan observasional untuk  mencatat hal-hal yang teramati di lapangan baik konteks maupun fenomena yang terjadi. Sepintas catatan ini akan tampak trivial seperti catatan tentang ucapan, peran seorang tokoh, sapaan dan cacatan tentang situasi di mana dan kapan ucapan, peran dan sapaan tersebut diperlihatkan. Catatan anekdotal digunakan untuk mencatat hal-hal khusus yang dianggap menyimpang dari kerutinan yang mapan.
Catatan metodologis digunakan untuk mencatat hal-hal yang berhubungan dengan modifikasi-modifikasi metodologis atau langkah-langkah penelitian yang dilakukan  peneliti di lapangan, yang dihubungkan misalnya ketidakefektifan  disain penelitian yang direncanakan semula. Sedangkan catatan analitik digunakan untuk merangkum seluruh cacatan observasional, anekdotal dan cacatan metodologis dan untuk menarik kesimpulan sementara atau persepsi peneliti akan kejadian-kejadian yang dialaminya di lapangan.
Tidak ada bentuk baku dari catatan-catatan di atas walaupun peneliti seharusnya membedakan catatan yang satu dari yang lain dengan menggunakan identitas atau kode tertentu. Dapat juga dibedakan dengan menggunakan spesifikasi fisik catatan seperti bentuk, warna, ukuran dan sebagainya. Bentuk-bentuk seperti tabel dan daftar dapat digunakan selama tidak mengurangi kekomprehensifan catatan yang sangat essensial artinya dalam penelitian etnografis.

2. Observasi Terstruktur
Observasi mempunyai kelebihan tersendiri dibandingkan dengan survai dalam kaitan dengan kualitas data yang dapat dijaring. Survai mengandalkan self report dari responden untuk mendiskripsikan fenomena-fenomena yang menjadi pusat perhatian peneliti, yang terkadang responden sering mendapatkan kesulitan untuk mengkonsepkan  apa yang dilihat atau dialaminya. Sementara itu, observasi bebas dari hambatan untuk mengumpulkan data, karena peneliti langsung mengamati sendiri data-data yang dicarinya.
Namun demikian observasi juga mempunyai kelemahan-kelemahan tersendiri. Subyektifitas peneliti relatif tinggi dan data yang terkumpul sering kali sangat supervisial  karena hanya berdasar pada apa yang dapat dilihat oleh peneliti. Peneliti tidak mungkin mendapatkan data yang berhubungan dengan persepsi, sikap dan gejala-gejala kejiwaan yang lain dengan teknik observasi.
Dalam melakukan observasi seorang peneliti perlu mengembangkan disiplin yang tinggi agar observasi atau pengamatannya tidak menjadi terlalu luas dan bias, menjangkau hal-hal yang tidak relevan. Observasi terstruktur diharapkan dapat mengurangi ketidakrelevanan dan kebiasan pengamatan. Observasi terstruktur tidak sebebas observasi partisipatori dan tidak dapat diharapkan  memberikan data yang bersifat komprehenship dan mendalam seperti yang dihasilkan lewat observasi partisipatori. Walaupun demikian teknik ini mempunyai kelebihan jika dibandingkan dengan observasi partisipatori. Keluasan subyek sasaran dan kemungkinannya untuk divalidasi secara eksternal merupakan kelebihan observasi terstruktur dibandingkan dengan field research.
Secara garis besar observasi terstruktur memiliki kelebihan-kelebihan, berikut; Pertama, observasi terstruktur lebih jelas kaitannya dengan teori jika dibandingkan dengan observasi partisipatori. Kedua, penstrukturan pengamtan mungkin akan mendorong dilakukannya evaluasi terhadap teori yang sudah dianggap mapan. Ketiga, dibandingkan dengan interview atau kuesioner, observasi terstruktur memiliki reabilitas yang lebih tinggi. Keempat,  observasi terstruktur lebih mudah disesuaikan dengan kondisi subyek penelitian dan lingkungan atau konteks sosial yang ada. Kelima,  dalam kenyataannya partisipan atau responden tidak selalu mampu menagkap maksud pertanyaan peneliti, misalnya jika ia dihadapkan seorang pewawancara atau diminta untuk menjawab kuesioner.
Sesuainya dengan namanya maka dalam melakukan observasi terstruktur seorang petugas lapangan dibekali dengan suatu daftar isian yang harus diisinya selama ia melakukan pengamatan. Aspek-aspek yang harus diamati secara eksplisit sudah tercantum dalam instrumen penelitian yang telah dikembangkan. Berikut adalah petikan dari sebuah contoh  instrumen untuk observasi terstruktur yang disusun oleh Smith (1981; 127) disebut Pedoman interview Diri Sendiri untuk pengamat atau observer Self Interview Schedule.

Contoh Pertanyaan Dalam Self Interview Schedule
Model A

32.    Adakah penggledahan atas barang-barang atau orang dilakukan oleh petugas? (1) Ya (Lanjutkan ke no. 33)  (2) Tidak  (Lanjutkan ke no. 38)
33.    Penggledahan apa yang dilakukan?  (1) Penggledahan diri (lanjutkan ke no. 37)  (2) Penggledahan atas barang-barang  (lanjutkan ke no. 36)
34.    Jika penggeldahan diri dilakukan, adakah tindakan ini menimbulkan reaksi menolak dari pengungsi (1) ya (lanjutkan ke no. 35)  (2) Tidak (lanjutkan ke no. 36)
35.    Wujud reaksi penolakan tersebut adalah (beri tanda v pada wujud pernyataan yang sesuai):
(1)          Penampilan wajah menolak (…….)
(2)          Kata-kata yang keras (……..)
(3)          Keengganan  (……..)
(4)          Lain-lain (nyatakan…………….)


Model B
11.  Adakah perubahan tingkah laku warga belajar setelah mendapatkan penyuluhan tentang belajar mandiri (A) Ya    (B) Tidak
12.    Jika warga belajar menunjukkan perubahan sikap tanda-tanda apakah yang dapat anda lihat? (Boleh lebih dari satu)
(A).   Mereka lebih rajin mengikuti kegiatan   (…….)
(B).    Merekalebih tertib menyelesaikan tugas yang diberikan tutor (…….)
(C).   Pertanyaan mereka lebih beragam (……..)
(D).   Kerjasama antar warga menjadi lebih baik (…….)

Dari kedua contoh di atas terlihat bahwa observasi terstruktur jauh lebih mudah dilakukan daripada observasi partisipasi. Hal ini disebabkan karena butir-butir tingkah laku yang harus diamati sudah diklasifikasikan dengan jelas di dalam instrumen penelitian. Di samping memudahkan  petugas lapangan, data dari observasi terstruktur lebih mudah untuk untuk dianalisis, dapat mencakup sampel penelitian yang lebih banyak, lebih ekonomis dalam arti waktu dan biaya.
Tetapi observasi terstruktur juga mempunyai kelemahan-kelemahan tertentu. Kedalaman pengamatan tidak akan mencapai sejauh apa yang dapat dijangkau oleh observasi partisipasi. Selain itu kadang-kadang  ada tingkah laku yang ditampakkan oleh subyek yang belum termasuk di dalam format penelitian.
Terdapat beberapa langkah penyusunan instrumen  observasi terstruktur sebagai berikut;
1.        Identifikasi pola tingkah laku, gejala-gejala dan atribut-atribut lain subyek dan lingkungan yang akan dijadikan fokus pengamatan. Ini dilakukan sesuai dengan hakekat permasalahan dan tujuan penelitian.
2.        Penulisan draf pertanyaan-pertanyaan pengamatan dengan format yang sesuai.
3.        Validasi isi dan perwajahan dari draf instrumen yang telah disusun dengan mendiskusikannya dengan orang-orang yang dianggap kompeten atau tahu.
4.        Uji coba instrumen untuk mengetahui apakah ada butir-butir yang belum dimasukkan.
5.        Penulisan dan instrumen bentuk akhir.       

3.        Kuesioner dan Pedoman Wawancara
Survai adalah disain yang paling sering digunakan dalam penelitian sosial. Di negara-negara maju survai biasa dilakukan dengan menggunakan salah satu dari tiga teknik pengumpulan data sebagai berikut;  kuesioner, wawancara (face to face interview) dan wawancara lewat telepon. Di Indonesia wawancara lewat telepon belum begitu lazim digunakan. Oleh karena itu dalam bab ini tidak akan dibicarakan secara khusus.
Ketiga teknik pengumpulan data di atas biasanya dilakukan dengan menggunakan sebuah daftar pertanyaan yang diajukan kepada responden, baik diajukan secara face to face (tertulis atau lisan), dikirim lewat surat maupun pembicaraan lewat telepon. Dalam bagian berikut akan dibicarakan tipe-tipe pertanyaan, baik dalam bentuk kuesioner maupun pedoman wawancara.
Ada dua tipe pertanyaan yang biasanya digunakan dalam kuesioner: pertanyaan tertutup atau terstruktur  dan pertanyaan terbuka atau tidak terstruktur. Jika pertanyaan tertutup  maka peneliti menyediakan jawaban-jawaban yang dapat dipilih oleh responden untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Berikut contoh;
Bagaimana pendapat anda dengan anjuran Pemerintah untuk mengadakan sarasehan antar umat beragama?
a.              Sangat setuju                       d.  Tidak Setuju
b.             Setuju                                 e.  Sangat tidak setuju
c.              Ragu-ragu

Pertanyaan terbuka atau pertanyaan tidak terstruktur digunakan apabila peneliti ingin menjajagi seluas-luasnya opini atau pendapat responden atas hal-hal yang menjadi pokok kajian. Dalam kuesioner tidak disediakan pilihan jawaban sebagaimana dalam pertanyaan terstruktur (tertutup), tetapi responden diminta untuk memikirkan sendiri jawaban atas pertanyaan yang diberikan. Sebagai contoh;
Bagaimanakah pendapat anda tentang kebijakan-kebijakan Pemerintah terkait dengan Otonomi Pendidikan yang diberikan kepada masyarakat?
Jawab:________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Baik pertanyaan terbuka maupun tertutup masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Salah satu kelemahan dari model pertanyaan terbuka adalah bahwa data yang terjaring kadang-kadang sulit untuk dianalisis secara kuantitatif, hal ini disebabkan oleh kategorisasi jawaban responden hanya dapat dilakukan sesudah data terkumpul. Dalam beberapa kasus jawaban yang diberikan oleh responden begitu beragam sehingga sulit untuk dapat diidentifikasi adanya suatu pola jawaban umum. Masalah ini tidak akan terjadi jika menggunakan bentuk pertanyaan yang tertutup.
Namun demikian pada sisi lain pertanyaan terbuka memungkinkan responden untuk menghayati pertanyaan dalam pemahaman mereka sendiri dan menjawab pertanyaan tersebut dalam bahasa mereka sendiri. Sayangnya jawaban-jawaban yang diberikan responden seringkali sulit dipahami maksudnya dan sulit pula dianalisa (Suhadi Ibnu, 1994; 15).
Untuk menyusun sebuah kuesioner  perlu diperhatikan beberapa pedoman sebagai berikut;
1.        Kuesioner biasanya terdiri dari tiga atau empat bagian; pengantar, petunjuk pengisian, isi kuesioner dan penutup. Pengantar berisi tentang maksud atau tujuan penelitian yang sedang dilakukan. Hal ini diperlukan untuk menghindari adanya rasa kekuatiran dan curiga dari responden sehingga mereka bersedia untuk memberikan jawaban pada pertanyaan yang diajukan. Petunjuk berisi tentang bagaimana cara responden memberikan jawaban. Isi kuesioner dapat dipilah menjadi dua bagian; identitas responden dan pertanyaan-pertanyaan penjaring informasi yang diperlukan. Penutup kuesioner antara lain berupa ucapan terima kasih kepada responden.
2.        Urutan pertanyaan dalam kuesioner hendaknya disusun secara random saja, tetapi mengikuti pola tertentu. Pola tersebut diantaranya ialah dari pertanyaan yang sederhana ke yang kompleks, dari pertanyaan yang mudah ke yang sukar, pertanyaan yang bersifat umum ke yang khusus dan sebaiknya pertanyaan yang bersifat pribadi sebaiknya disampaikan paling  akhir.
3.        Rincian dari bentuk pertanyaan, seperti yang telah dijelaskan di atas dasar pemilihan bentuk pertanyaan adalah hakekat permasalahan yang sedang dikaji dan tujuan yang ingin dicapai dengan penelitian yang dilakukan.
4.        Kejelasan pertanyaan penting bagi responden. Dengan kata lain peneliti harus menuliskan pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner dalam bahasa yang dimengerti oleh responden. Walaupun demikian harus dijaga agar peneliti tidak memandang rendah kemampuan responden apalagi  menampakkan sikap menggurui.
5.        Hindarkan bentuk pertanyaan yang menggiring. Karena peneliti merasa mempunayi beban untuk membuktikan bahwa hipotesisnya benar sering terjadi peneliti menuliskan pertanyaan yang sedemikian rupa sehingga responden menjadi terpengaruh untuk membenarkan  atau menilai suatu fenomena yang bertentangan dengan suara hatinya sendiri. Model-model pertanyaan ini biasanya menggunakan kata-kata “ setujukah, benarkah,  dan lain sebagainya.
6.        Cross chek (pengujian silang). Untuk menguji atau mengetahui keteguhan responden dalam menyatakan sesuatu kadang-kadang dianggap perlu adanya suatu pengujian silang antara pertanyaan yang satu dengan pertanyaan yang lain. Sebuah pertanyaan positif perlu dichek dengan pertanyaan yang lain yang memiliki arah yang negatif, tetapi dalam pokok persoalan yang sama..
7.        Pengendalian. Kuesioner yang disusun dengan baik selain berfungsi sebagai sarana pengumpul data sekaligus juga merupakan modal bagi peneliti untuk melakukan improvisasi di lapangan sehingga pertanyaan-pertanyaan  yang disampaikan kemudian (khususnya dalam wawancara) menjadi lebih terarah. Data yang terkumpul dari penggunaan kuesioner sekaligus juga merupakan sarana untuk mengetahui valid atau tidaknya penelitian yangtelah dilakukan.
8.        Uji-coba. Untuk mendapatkan instrumen penelitian yangbenar-benar baik perlu dilakukan sebuah uji coba penggunaan instrumen yang telah disusun. Sejumlah responden “bayangan” (antara 10 – 100 orang) diminta untuk mengisi kuesioner seperti halnya dalam penelitian yang sesungguhnya. Dari hasil uji coba ini sendiri banyak yang bisa diungkapkan terutama yang berhubungan dengan reabilitas dan validitas penelitian.       

C.     Validitas dan Reabilitas Instrumen
Perlu dibedakan antara hasil penelitian  yang valid dan releabel dengan instrumen penelitian yang valid dan releabel. Hasil penelitian yang valid, terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek  yang diteliti. Kalau dalam obyek penelitiannya berwarna merah maka data yang terkumpul juga memberikan data merah. Kalau dalam obyek berwarna merah, sedangkan data yang terkumpul memberikan data putih maka hasil penelitian tidak valid. Selanjutnya hasil penelitian yang reliabel, bila terdapat kesamaan data dalam waktu yang berbeda. Kalau dalam obyek penelitian kemarin berwarna merah maka sekarang maupun besok tetap berwarna merah (Sugiono, 1994; 97).
Instrumen yang valid berati alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) yang valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur. Instrumen yang reliabel berarti instrumen yang bila digunakan berkali-kali akan mendapatkan hasil (data) yang sama. Contoh alat ukur yang tidak reliabel adalah meteran yang berasal dari karet.
Dengan menggunakan intrumen yang valid dan reliabel dalam pengumpulan data, maka diharapkan hasil penelitian akan menjadi valid dan reliabel. Jadi instrumen yang valid dan reliabel merupakan syarat utama untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid dan reliabel.   

1.      Pengujian Validitas Instrumen
a.       Validitas Konstruk
Untuk menguji validitas konstruksi, maka dapat digunakan pendapat para ahli. Dalam hal  ini setelah instrumen di konstruksi tentang aspek-aspek yang akan diukur dengan berlandaskan teori tertentu, maka selanjutnya dikonsultasikan dengan para ahli.
Setelah pengujian konstruksi dari ahli selesai, maka diteruskan dengan uji coba instrumen. Instrumen yang telah disetujui para ahli tersebut diujicobakan pada sampel. Jumlah anggota sampel sebagai kelompok ujicoba paling tidak terdiri dari 30 orang. Setelah data didapat dan ditabulasikan, maka pengujian validitas konstruksi dilakukan dengan analisis faktor yaitu dengan mengkorelasikan antara skor item instrumen. Untuk emudahkan hal ini diperlukan sebuah program analisa statistik.   

B. Validitas isi
Untuk instrumen yang berbentuk test, maka pengujian validitas isi dapat dilakukan dengan membandingkan antara isi instrumen dengan isi materi pelajaran yang telah diajarkan. Seorang guru yang memberikan ujian di luar pelajaran yang telah disampaikan berarti instrumen ujian tersebut tidak mempunyai validitas isi. Untuk instrumen yang akan mengukur efektifitas pelaksanaan program, maka pengujian validitas isi dapat dilakukan dengan isi atau rancangan program yang telah ditetapkan.
Secara teknis pengujian validitas konstruksi dan validitas isi dapat dibantu dengan kisi-kisi instrumen. Dalam kisi-kisi tersebut terdapat variabel yang diteliti, indikator sebagai tolak ukur, dan nomor butir (item) pertanyaan dan pernyataan yang telah dijabarkan dari indikator. Dengan kisi-kisi instrumen tersebut maka pengujian validitas dapat dilakukan dengan mudah dan sistematis (Sugiono, 1994; 101).

c. Validitas eksternal
Validitas eksternal instrumen diuji dengan cara membandingkan (untuk mencari kesamaan) antara kriteria yang ada pada instrumen dengan fakta-fakta empiris yang telah terjadi di lapangan. Misalnya instrumen untuk mengukur kinerja sekelompok pegawai, maka kriteria kinerja pada instrumen tersebut dibandingkan dengan catatan-catatan di lapangan  (empiris) tentang kriteria kinerja pegawai yang baik. Bila telah terdapat kesamaan antara kriteria dalam instrumen dengan fakta di lapangan, maka dapat dinyatakan instrumen tersebut mempunyai validitas eksternal yang tinggi.
Instrumen penelitian yang mempunyai validitas eksternal yang tinggi akan mengakibatkan hasil penelitian yang mempunyai eksternal yang tinggi p ula. Penelitian yang mempunyai validitas eksternal bila, hasil penelitian dapat digeneralisasikan atau diterapkan pada sampel lain dalam populasi yang diteliti. Untuk meningkatkan validitas eksternal instrumen maka dapat dilakukan dengan memperbesar jumlah anggota sampel. 
   
2.    Pengujian Reliabilitas Instrumen
Pengujian reabilitas instrumen dapat dilakukan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal pengujian dapat dilakukan test-retest, eqiuvalen dan gabungan keduanya. Sedangkan secara internal reabilitas instrumen dapat diuji dengan menganalisis konsistensi butir-butir yang ada pada instrumen dengan teknik tertentu.
a.       Test-retest
Instrumen yang reliabilitasnya diuji dengan cara mencobakan instrumen beberapa kali kepada responden. Jadi dalam hal ini instrumennya sama, respondennya sama dan waktunya yang berbeda. Reabilitas diukur dari koefiensi korelasi antara percobaan pertama dengan yang berikutnya. Bila koefisien korelasi positif dan signifikan maka instrumen tersebut sudah dinyatakan reliabel. Pengujian instrumen dengan cara ini disebut stability.
b.      Equivalen
Intrumen yang equivalen adalah pernyataan yang secara bahasa berbeda, tetapi maksudnya sama. Sebagai contoh  (untuk satu butir pertanyaan saja); Berapa tahun anda kuliah di perguruan tinggi ini? Pertanyaan tersebut equivalen dengan pertanyaan  berikut. Tahun berapa anda masuk di perguruan tinggi ini?
Pengujian reabilitas instrumen dengan cara ini cukup dilakukan sekali, tetapi intrumennya dua pada responden yang sama, waktu yang sama, instrumen berbeda. Reabilitas instrumen dihitung dengan cara mengkorelasikan antara data instrumen yang satu dengan data instrumen yang dijadikan equivalen. Bila korelasinya positif dan signifikan, maka instrumen dapat dinyatakan reliabel.

c.       Gabungan
Pengujian reliablitas ini dilakukan dengan mencobakan dua intrumen yang eqiuvalen bebrapa kali, ke responden yang sama Jadi cara ini merupakan gabungan cara pertama dan kedua. Reliabilitas instrumen dilakukan dengan mengkorelasikan dua instrumen yang  equivalen pada pengujian pertama, setelah dikorelasikan pada pengujian kedua dan selanjutnya dikorelasikan secara silang.
Jadi dengan dua kali pengajian dalam waktu yang berbeda, akan dapat dianalisis enam koefisien reliabilitas. Bila enam koefisien korelasi itu kesemuanya positif dan signifikan, maka dapat dinyatakan bahwa instrumen tersebut reliabel. 

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar